Kain Batik untuk Calon Menantu

Batik, terutama batik tulis, selalu membuat saya terpesona. Ketelitian dan kesabaran selama proses pembuatan meresap pada tiap goresan malam. Namun, belum banyak yang saya ketahui tentang batik. Termasuk sebuah kisah betapa dekatnya batik dengan sejarah keluarga.



Malam kemarin, Ibu saya sibuk mempersiapkan pakaian yang akan dikenakannya pada acara akad nikah sepupu saya. Beberapa kain dikeluarkannya dari lemari untuk dicocokkan dengan kebaya yang akan dipakai olehnya. Bukan kesibukan yang luar biasa, sampai Ibu berkata bahwa sepertinya kebayanya akan lebih cocok jika dipakai dengan kain batik tulis yang ia miliki.

Saya, yang tadinya duduk santai menonton tv, langsung tegak menyimak.

“Ibu punya kain batik tulis?”, tanya saya keheranan. Saya tahu Ibu punya beberapa kain yang cukup bagus dari berbagai daerah. Namun baru kali ini saya mendengar tentang kain batik tulisnya.

Lho, kamu nggak tahu? Ibu punya dua. Dua-duanya pemberian dari dari Mbah Darum”, kata Ibu. Mbah Darum itu ibu mertuanya. Nenek saya dari pihak Bapak.

“Mbah Darum bisa mbatik?”, saya semakin keheranan. Selama ini yang saya tahu Mbah Darum melakukan banyak hal untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya. Mulai dari mengerjakan sawah orang lain (buruh tani) ataupun berjualan kain dengan cara berkeliling desa, tapi tidak pernah mendengar beliau membatik.

Jujur saja, tidak banyak yang saya ingat tentang Mbah Darum. Saya hanya ingat pernah beberapa kali mengunjungi beliau di Bantul, Yogyakarta. Komunikasi kami saat itu sangat terbatas karena si Mbah tidak bisa berbicara bahasa Indonesia sedangkan saya masih terlalu kecil untuk mengerti bahasa jawa, bahkan yang paling sederhana sekalipun. Beliau meninggal dunia ketika saya duduk di bangku SMP.

“Kain-kain itu Bapak yang minta dibuatkan sama si Mbah”, Bapak ikut menjelaskan. “Karena mau menikah, Bapak minta sama si Mbah untuk dibuatkan kain batik. Bayar orang untuk menggambar polanya, tapi yang mbatik semuanya si Mbah. Kain-kain itu diberikan pada saat acara lamaran.”

Ini berarti kain batik tersebut paling tidak telah berumur 37 tahun.  

“Mbah kasih Ibu dua kain. Satu kain ada di Mbak Titi (kakak saya), satu lagi Ibu simpan. Kain yang Ibu simpan ini kembaran sama Mbah Wiyah (Ibunya ibu). Jadi, jumlah kain yang dikasih seluruhnya ada tiga”, kata Ibu.

“Ketiga kain itu adalah kain terakhir yang dibuat si Mbah. Si Mbah tidak pernah mbatik lagi setelah itu,” Bapak menambahkan.

Saya hanya bisa duduk diam mendengarkan, sambil sesekali tangan saya memegang lembut kain batik tulis itu. Membayangkan Mbah Darum memenuhi permintaan anaknya. Membuatkan kain batik untuk calon menantunya.

Saya merasakan cinta pada setiap goresan malam di kain itu. 

Pojok kanan atas terlihat lipitan kain atau wiron yang dibuat oleh Ibu
Ada cinta disetiap goresan malamnya

Komentar

  1. terharu bacanya. gak nyangka selembar kain yg ditulis itu punya sejarah panjang.

    BalasHapus
  2. Wuaaawwww
    Itu batik tulis cinta seorang ibu untuk anaknya, demi membahagiakan anaknya yg akan meminang gadis, si ibu rela membatik sendiri, subhanallaaah

    BalasHapus
  3. wow....dibatik sendiri trus dikasih ke menantunya *yg waktu itu masih calon* ?
    beneran restu ibu mertua tertuang dalam selembar kain batik niy :)
    jamanku dulu dikasih kain batik siy sama ibu mertua waktu mau nikah, tapi ya batik beli ....hihihi

    BalasHapus
  4. gue juga terharu pas denger ceritanya. gak kebayang aja ternyata si Mbah sampe segitunya.

    BalasHapus
  5. iyaaaaa....takjub dengerin ceritanya :)

    BalasHapus
  6. walaupun batik beli, tapi kain itu tetep istimewa toh? :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer